Hikmah

Hidup Sederhana, Sebuah Nilai Keteladanan dari Nabi SAW


setahun yang lalu


hidup-sederhana-sebuah-nilai-keteladanan-dari-nabi-saw

Saat ini planet bumi yang kita tempati dihuni oleh delapan miliar manusia. Jumlah yang sangat besar melampui kapasitas ideal daya tampung bumi. Dengan usia yang semakin menua, sumber daya alam yang tersdia semakin menipis. Perjalanan panjang umat manusia ratusan ribu tahun menghuni bumi telah menyedot  kekayaan material di dalamnya.

Telah menjadi tabiat manusia bahwa dalam dirinya terdapat sifat yang ingin selalu menumpuk harta kekayaan. Tidak pernah puas dengan apa yang telah dimilikinya. Itulah nafsu serakah. 

Dapat dibayangkan populasi manusia yang akan terus semakin bertambah itu jika setiap orang menuruti hawa nafsunya, maka kerusakan alam tidak dapat dielakkan. Tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi timpang. Masing-masing berebut kepentingan. Seperti yang diingatkan dalam Al-Qur’an, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia” (QS Ar-Ruum: 41).

Dalam mengarungi dan menyikapi kehidupan, ada beberapa macam tipe manusia. Pertama, ada orang yang diberikan kecukupan harta. Orang ini hatinya senantiasa bersyukur. Menggunakan hartanya tidak hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan lebih banyak untuk kepentingan orang lain dan syiar agamanya. Kedua, ada orang yang diberikan kecukupan harta tetapi tidak mampu bersyukur. Orang ini selalu merasa haus untuk mengejar harta. Bahkan, dengan jalan apa pun, dia lakukan demi menggapai keinginannya. Hartanya ditumpuk untuk berbanga-banggaan. Ketiga, ada orang yang secara materi hidupnya tampak kekurangan, tatapi dia tetap besyukur. Tidak berkeluh kesah. Rezeki yang di tangannya diterima dengan ikhlas dan lapang dada sambil terus berikhtiar. Keempat, ada orang yang hidupnya serba kekurangan serta tidak mampu bersyukur. Perasaannya selalu gelisah ketakutan. Pandangannya kosong tidak ada pancaran tawakal, bahkan berani melakukan jalan pintas melanggar aturan berbuat kriminal untuk memenuhi kebutuhannya.

Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita bahwa dalam mengarungi hidup, mengejar harta dunia janganlah menjadi tujuan utama. Harta dunia ditempatkan sebagai sarana perjuangan untuk menuju hidup yang sesungguhnya di akhirat. Dunia ini diciptakan untuk manusia, sedangkan manusia diciptakan untuk akhirat. 

Salah satu kelebihan orang beriman adalah selalu optimistis dalam memandang kehidupan ini. Jiwanya penuh ketenangan. Senantiasa yakin perjalanan hidup manusia kaya dan miskin telah ditentukan oleh Allah SWT. Seperti yang diajarkan Al-Qur’an, ”Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha teliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat” (QS Asy-Syura: 27).

Tujuan hidup kaum muslim tidak terbatas pada dunia yang sementara ini, melainkan memiliki orientasi yang sangat hakiki. “Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat. (QS Asy-Syura: 20).

Kalau kebetulan diberikan rezeki yang cukup, mereka senang berbagi dengan orang yang membutuhkan. Dan kalau kebetulan diberikan rezeki yang kurang atau kemelaratan, mereka tetap sabar. “Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa (QS Al-Baqarah: 177).

Imam al Ghazali dalam kitabnya, Mukasyafatul Qulub, menyitir hadis Nabi. Dalam percakapan dengan sahabat Abu Hurairah. “Rasulullah bersabda kepadaku, Wahai Abu Hurairah, maukah engkau aku perlihatkan dunia seluruhnya, beserta isinya? Aku menjawab, ‘Iya, wahai Rasulullah. Kemudian beliau meraih tanganku dan membawaku ke salah satu lembah di Madinah. Ternyata, di sana ada tempat sampah yang berisi banyak kepala (bangkai) “ Rasulullah bersabda, “Dahulu, kepala-kepala itu tamak sebagaimana kalian, berangan-angan seperti kalian. Sekarang kepala-kepala itu menjadi tulang-belulang yang tidak ada kulitnya, selanjutnya ia akan berubah menjadi debu. Kotoran-kotoran ini berasal dari makanan kalian yang beraneka warna. Mereka bekerja untuk memperoleh makanan itu, lalu mereka membuangnya ke dalam perut mereka. Kemudian orang-orang menjahui warna-warni makanan yang sudah menjadi kotoran itu. Sobekan-sobekan yang rusak ini adalah perabotan dan pakaian mereka. Sekarang ia diempaskan oleh angin. Tulang-belulang ini adalah hewan-hewan yang mereka gunakan untuk berangkat ke segala penjuru negeri. Barangsiapa yang mau menangisi dunia, maka tangisilah! Belum selesai Rasulullah bersabda, kami sudah menangis sejadi-jadinya.”

Al-Qur’an mengingatkan agar manusia dalam menjalani hidup ini tidak teperdaya oleh tipuan setan, yang memandang dunia ini senantiasa indah sehingga sampai melupakan Allah SWT. “Janganlah kehidupan dunia memperdayakan kalian dan janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kalian tentang Allah” (QS Fathir [35]: 5). 

Semoga di tengah kehidupan yang serba hedonis ini, kita bisa kembali kepada suri teladan Rasulullah SAW sehingga tatanan dunia akan semakin adil dan sejahtera dalam rida Allah SWT.