Kajian Kontemporer

Hukum Bekerja di Bank Konvensional


2 tahun yang lalu


hukum-bekerja-di-bank-konvensional

Bank konvensional adalah bank yang menerapkan sistem bunga dalam semua transaksinya. Hukum bekerja di bank konvensional amat terkait dengan hukum bunga bank. Sementara hukum bunga bank itu sendiri secara global terdapat 4 kelompok pendapat, yaitu:

a) Yang mengharamkan bunga bank

Dalil pengharaman bunga adalah dalil-dalil tentang haramnya riba. Sebab, bunga disamakan dengan riba, antara lain, makna firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda, dan bertaqwalah kepada Allah SWT agar kamu mendapat keberuntungan” (QS Ali ‘Imran ayat 130) dan firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman. Bertakwalah kepada Allah SWT dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum diambil) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan bila kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya” (QS Al-Baqarah 278-279). Juga hadis Rasulullah SAW dari Jabir ra dia berkata: ”Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, pemberi makan dengan harta riba, penulis dan kedua saksinya, seraya menegaskan: mereka semua sama” (HR Muslim).

b) Yang mengharamkan bunga bank dengan perkecualian

Sebagian fuqahaa’ (ulama ahli fiqih) memang mengharamkan bunga bank, tetapi mengecualikannya jika dalam keadaan darurat, artinya bunga bank menjadi boleh dan halal jika amat terpaksa. Untuk mendasari pendapat ini mereka mempergunakan kaidah ushul fiqih: ”adl-Dlaruuraatu tubiichul machdhuuraat” (keadaan darurat itu menyebabkan diperbolehkannya hal-hal yang dilarang) dan “al-Chaajatu tanzilu manzilatadl dlaruurati, ’aammatan au khaashshatan” (kebutuhan itu dapat menempati kedudukan darurat, baik secara umum maupun khusus).

c) Yang menghalalkan bunga bank dengan perkecualian

Riba sebagai perbuatan terlarang memang secara eksplisit dinyatakan dalam Al-Qur'an, terutama surah Ali ‘Imran ayat 130 dan Al-Baqarah 278-279 di atas. Namun, apakah bunga bank sama dengan riba, atau bahkan riba itu sendiri, merupakan persoalan yang menyebabkan para ulama berbeda pendapat. Dasar penghalalan bunga bank adalah pemahaman kontekstual terhadap ayat-ayat tersebut, antara lain:

(1) at-Tabariy menyatakan, berdasarkan riwayat yang diterima dari Mujahid dan Atha' bahwa ayat 130 surat Ali ‘Imran ini turun berkaitan dengan praktik riba pada masa jahiliyah yang berdasarkan riwayat Ibn Zaid riba pada zaman jahiliyah terjadi dalam pelipatgandaan umur binatang yang diutang. Jika hewan yang diutang itu berumur setahun, kemudian jatuh tempo dan tidak dapat membayarnya, maka pembayarannya ditangguhkan dengan kewajiban membayar dengan binatang yang berumur dua tahun, dan begitu seterusnya sampai terbayar lunas. Hal ini juga berlaku dalam bentuk utang selain binatang. Bila telah jatuh tempo dan yang berutang belum dapat mengembalikannya, maka utang yang semula seratus harus dikembalikan dua ratus dan begitu seterusnya sampai  utangnya terlunasi. Ini berarti yang dilarang adalah segala macam dan bentuk riba sebagaimana yang dipraktikkan pada zaman jahiliyah dan berarti pula tidak semua nilai tambah dari pokok utang yang saat ini populer dengan istilah bunga sama dengan riba yang dilarang.

(2) Muhammad Rasyid Ridla berpendapat bahwa riba yang dilarang dalam surat Al-Baqarah 278 adalah riba yang berlipat ganda, sebagaimana dimaksud dalam surat Ali ‘Imran ayat 130, sesuai dengan sebab dan kondisi diturunkannya ayat tersebut. Dengan demikian, ‘illat (sebab) diharamkannya riba adalah adanya unsur penganiayaan sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 279.

Jika bunga itu bersifat konsumtif dalam arti bunga tersebut dikenakan pada pengutang yang berada di sektor konsumtif (menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari dan bukan untuk usaha yang berdaya hasil), maka bunga tersebut sama dengan riba dan hukumnya haram, karena adanya kesamaan ‘illat yaitu terjadinya penganiayaan yang berupa pemerasan atau pemberatan beban sebagaimana dinyatakan dalam surah Al-Baqarah ayat 279 di atas.

d) Yang menyatakan bahwa bunga bank adalah syubhat

Karena samarnya pengertian, tipisnya perbedaan dan adanya kemiripan ataupun persamaan antara bunga dan riba, hal ini menimbulkan keraguan. Maka, sulit memastikan halal atau haramnya bunga bank. Sesuatu yang berada dalam wilayah antara halal dan haram adalah syubhat (tidak jelas halal-haramnya), sebagaimana sabda Rasulullah SAW (yang maknanya): “Yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas, sedang di antara keduanya banyak syubhat (samar, tidak jelas) yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Maka siapa yang menghindari syubhat selamatlah agama dan kehormatannya dan siapa yang terjerumus dalam syubhat, bagaikan penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang, boleh jadi terjerumus ke dalam larangan itu. Ingatlah bahwa bagi setiap penguasa ada larangan; ingatlah bahwa larangan Allah SWT adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ingatlah, bahwa dalam jasad (manusia) ada segumpal darah beku; jika dia baik, maka baiklah semua jasadnya, tetapi bila dia rusak, rusak pulalah semua jasadnya. Ingat, itulah hati (jantung)” (HR. al-Bukhariy an-Nu’man bin Basyir RA).

Membahas masalah riba dan bunga bank harus ditemukan kata kuncinya guna menentukan apa maqaahsid asy-syarii’ah (tujuan pokok syariat Islam) yang melatarbelakangi dilarangnya riba. Dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan riba, ada ungkapan penting yang dapat djadikan pijakan hukum sebagai kata kunci mengenai masalah ini, yaitu penghujung ayat 279 dari surat Al-Baqarah yang berbunyi: laa tadhlimuuna walaa tudhlamuun (kalian tidak merugikan dan juga tidak dirugikan). Dengan demikian dapat dipahmi bahwa tujuan pokok syari’at Islam mengenai dilarangnya riba adalah agar tidak ada pihak mana pun yang dirugikan. Jadi, yang dinamakan riba adalah segala pertambahan akibat utang-piutang yang berdimensi merugikan orang. Sementara yang tidak merugikan atau malah menguntungkan banyak pihak, tentunya harus tidak dinamakan riba, melainkan bunga, dan harus berada di luar hukum haram.

Nah dengan demikian hukum bekerja di bank konvensional, yang menerapkan sistem bunga dalam transaksinya, tergantung pemahaman dan kemantapan orang yang bersangkutan terhadap hukum bunga bank. Jika dia meyakini haramnya bunga bank karena disamakan dengan riba, maka bekerja di bank konvesional hukumnya haram, gajinya juga haram. Jika meyakini bahwa bunga bank itu berbeda dengan riba dan hukumnya tidak haram, asal tidak terjadi pemerasan, maka bekerja di bank yang menerapkan sistem bunga juga tidak haram, gajinya juga tidak haram. Tetapi, jika ragu dan menganggap bunga bank itu syubhat (samar), maka hukum bekerja di bank konvensional juga syubhat, gajinya juga syubhat, dan siapa yang berada di wilayah syubhat berarti berada di wilayah berbahaya dan hukumnya haram.

Sebagai bahan renungan dan pertimbangan terkait bunga bank, jika dianggap sama dengan riba atau bahkan riba itu sendiri, maka bagaimana dengan nasib ratusan ribu (mungkin jutaan) pensiunan pegawai bank, bagaimana nasib ratusan ribu (mungkin jutaan) pegawai bank, bagaimana nasib ratusan juta orang yang masih bertransaksi dengan bank konvensional, baik untuk usaha, untuk menerima gaji, untuk beli rumah, mobil, motor, dan lain-lain, bahkan untuk pergi haji dan umrah.

Masalah riba dan bunga ini juga bisa diilustrasikan dengan telek (kotoran) luwak dan kopi luwak. Sama-sama keluar dari dubur luwak, tetapi hukumnya berbeda karena wujud dan kemanfaatannya berbeda.

Wallaahu a’lam.