Kajian Kontemporer

Hukum Khitan bagi Wanita


2 tahun yang lalu


hukum-khitan-bagi-wanita

Khitaan (khitan, memotong) secara terminologi praktis pengertiannya dibedakan antara khitan bagi pria dan khitan bagi wanita. Khitan bagi pria adalah memotong kulit yang menutupi ujung dzakar (penis) sehingga menjadi terbuka. Sementara khitan bagi wanita adalah memotong bagian dalam farj (vagina), yaitu klentit atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva pada bagian atas kemaluan wanita.


Dalam Islam, khitan merupakan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW sebagai kelanjutan dari millah (ajaran) Nabi Ibrahim as. Dalam sebuah hadis shahih diceritakan bahwa Nabi Ibrahim as berkhitan setelah berumur 80 tahun dengan/di-qadum (HR al-Bukhariy dan Muslim). Mengenai qadum, ada beberapa pemaknaan dari para ulama. Ada yang mengartikan sebagai alat khitan, kampak, dan ada pula ulama (al-Bukhariy dan Ahmad) yang memahaminya sebagai nama tempat.


Mengenai hukum khitan, para fuqaha (ulama ahli fiqih) berbeda pendapat sebagai berikut:


Khitan bagi pria. Para fuqaha madzhab Hanafiy dan Malikiy berpendapat bahwa hukum khitan bagi pria adalah sunnah (dianjurkan). Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW: “Khitan itu sunnah (dianjurkan) bagi pria dan makrumah (kehormatan) bagi wanita” (HR al-Jama’ah/mayoritas ahli hadis). Sedangkan para fuqaha madzhab Syafi’iy dan Hanbaliy berpendapat bahwa hukum khitan bagi pria adalah wajib. Pendapat ini didasarkan pada makna firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 125: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan diri kepada Allah SWT, sedang dia pun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti millah/ajaran Ibrahim yang lurus…”. Salah satu millah/ajaran nabi Ibrahim AS itu adalah khitan. Bahkan, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa pria yang tidak berkhitan itu tidak sah salatnya, tidak boleh menjadi imam, tidak halal sembelihannya, dan tidak diterima kesaksiannya. Menurut para ahli kesehatan, khitan bagi pria itu mendatangkan kemaslahatan atau manfaat yang besar.


Khitan bagi wanita. Para fuqaha madzhab Hanafiy dan Hanbaliy berpendapat bahwa khitan bagi wanita itu merupakan kehormatan dan hukumnya mubah (boleh). Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW bahwa: “Khitan itu sunnah (dianjurkan) bagi pria dan makrumah (kehormatan) bagi wanita” (HR al-Jama’ah/mayoritas ahli hadis). Syaikh Yusuf al-Qardlawiy (ulama kontemporer dari Mesir) menyatakan bahwa pendapat yang paling baik, dapat diterima dan mendekati kenyataan, bagi wanita adalah khitan ringan. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang pernah bersabda kepada Ummu ‘Athiyah RA (seorang wanita juru khitan anak perempuan): “Sedikit sajalah dipotong, sebab hal itu menambah cantik wajahnya dan kehormatan bagi suaminya” (HR Abu Dawud). Syaikh Mahmud Syaltut (mantan rektor al-Azhar Mesir) menyatakan bahwa khitan termasuk masalah ijtihadiyah karena dalam Al-Qur’an tidak ada nash yang sharih (jelas) tentang hal ini.


Dengan demikian, wajar jika hukum khitan, baik bagi pria maupun wanita, adalah mukhtalaf fiih (diperselisihkan). Tetapi, yang pasti, tidak seorang ulama/fuqahaa’ pun yang berpendapat bahwa khitan bagi wanita adalah wajib, juga tidak seorang ulama/fuqahaa’ pun yang mengharamkannya. Karena itu, wajar pula jika tidak semua negara berpenduduk mayoritas muslim menerapkan khitan bagi wanita. 


Ada negara yang mengkhitan para wanitanya, antara lain Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Tetapi, ada pula negara yang tidak memberlakukan khitan bagi para wanitanya, antara lain, justru negara-negara di Timur Tengah.


Di kalangan wanita modern, ada yang tidak setuju dengan dilaksanakannya khitan bagi wanita, terutama yang merusak organ reproduksi karena merupakan suatu tindak kekerasan terhadap wanita. Karena itu, tidak mengherankan jika kantor menteri negara pemberdayaan perempuan mendukung semua usaha untuk menghapus pelaksanaan khitan bagi wanita. Bahkan, menteri negara pemberdayaan perempuan (waktu itu) menyatakan: “Kami juga sangat berharap Departemen Kesehatan menerbitkan larangan bagi petugas medis/paramedis, termasuk fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta, untuk tidak melakukan medikalisasi sunat pada perempuan”.


Hal ini tidak berarti ada kontradiksi antara ajaran Islam dan ketentuan “hukum positif” tentang khitan bagi wanita. Sebab, secara tekstual, tidak ada dalil eksplisit yang dapat dirujuk untuk mewajibkannya sehingga dalam perspektif fiqih tidak seorang ulama/fuqahaa’ pun yang mewajibkannya. 


Bahkan, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum khitan bagi wanita itu hanyalah mubah , boleh dilaksanakan dan boleh juga tidak. Oleh karena itu, terserah saja kepada orang tua ataupun pemerintah. Jika dipandang lebih maslahat tidak dilaksanakan, maka sebaiknya juga tidak usah dilaksanakan khitan bagi wanita.                                     


Wallaahu a’lam.