Hikmah

Jualan Tahu


setahun yang lalu


jualan-tahu

 

Terlambat datang memenuhi undangan pernikahan, dari seorang saudara yang menyunting anak tokoh masyarakat di desa pinggiran Sungai Brantas, masuk wilayah Kertosono. Tetapi, keterlambatan ini justru memperoleh banyak bertabur mutiara penuh makna.

Saudara kami adalah mempelai pria. Ia yatim. Ayahnya meninggal saat Covid-19 tiga tahun lalu. Posturnya kecil, pendiam, dan tampak pemalu. Almarhum ayahnya mengajarinya hidup mandiri. Beratnya ekonomi yang dihadapi tak boleh menjadi alasan menggantungkan hidup pada orang lain sehingga selepas sekolah SMA tidak ragu ia merantau ke Surabaya.

Kedua mertuanya menyambut kami dengan suka cita, penuh keramahan dan rasa bahagia. Wajah sumringah terpancar tulus dari senyum dan ucapannya. “Kami sangat berterima kasih, panjenengan berkenan bersusah-susah datang ke sini, di pelosok desa di tengah sawah, jauh dari mana-mana.” ucap beliau dengan bahasa Jawa halus penuh ketulusan, saat menyapa kedatangan kami.

Keduanya lantas memperkenalkan kedua mempelai. Menyaksikan anak perempuan yang menjadi istri saudara saya, yang sudah tidak lagi ber-make up, sungguh sangatlah beruntung berlipat-lipat. Paras rupawan, kulit kuning bersih dengan postur lumayan, orang tuanya (mertua) peduli dan neriman. 

“Saya tahu, anak ini baik (menantunya), mandiri dan rajin shalat. Anak saya mau, ya sudah, tidak menunggu lama, langsung saya nikahkan begitu saja. Saya ini orangnya juga nggak muluk-muluk, asal mau kerja dan rajin shalat, yakin hidupnya akan tertata,” ujarnya menceritakan sedikit kisah perjodohan dengan saudara saya.

Bapak mertuanya adalah seorang pengrajin tahu, mata pencaharian yang digelutinya puluhan tahun. Proses produksi dikerjakan secara manual, menjualnya sendiri ke pasar atau ke pelanggan langsung. Pekerjaan tersebut merupakan kesibukannya setiap hari, hingga bisa mendidik anak-anaknya dan membekali mereka dengan satu unit usaha untuk hidup.

“Saya suruh anak saya, semua harus sekolah, jika selesai sekolah harus mau jualan. Entah nanti mau diteruskan atau tidak, mereka harus bisa jualan. Setidaknya mereka tahu bagaimana beratnya orang tuanya berjuang menghidupi keluarganya,” tuturnya dengan penuh rasa bangga.

Tidak banyak orang tua yang menempuh pola pendidikan seperti yang beliau terapkan untuk anak-anaknya. Terlepas karena keadaan atau terbatasnya peluang, tetapi cara mendidik anak yang beliau tempuh, sungguh suatu pelajaran sangat berharga. Orang tua, meskipun pendidikannya lebih rendah dari anaknya, tetapi prinsip hidup yang diyakininya telah teruji. Prinsip itulah yang ingin diwariskan pada anak-anaknya. Walaupun anaknya belajar hingga level yang lebih tinggi, tetapi prinsip hidup pasti belum dimilikinya. Karena itu, di mana pun anaknya sekolah, mereka harus mewarisi nilai dasar yang telah dijalani oleh orang tuanya.

Tugas orang tua yang paling utama dalam mendidik anak adalah memastikan nilai-nilai dasar (core values) dalam hidup yang dianut orang tuanya, yang telah teruji dan terbukti, terduplikasi dalam diri anak. Pekerjaan atau profesi apa pun bisa saja berbeda dari orang tuanya, tetapi nilai dasar yang diyakini oleh keluarga haruslah dipegang teguh oleh anak-anaknya. Nilai dasar inilah yang menjadi acuan bagi anak-anak dalam mengembangkan profesinya masing-masing.

Zaman yang dilalui oleh orang tua dan anak, pasti berbeda, tetapi yang tidak akan pernah berbeda adalah core values dalam menjalani hidup di setiap masa. Tugas penting orang tua adalah menananamkan, mengajarkan dan mencontohkan, bagaimana core values terwujud dalam hidup sehari-hari. Sementara ilmu pengetahuan, keterampilan, dan bekal profesi adalah tugas orang lain atau lembaga pendidikan di luar rumah. Wallahu a’lam bisshawab.