Hikmah

Sebatang Pensil


2 tahun yang lalu


sebatang-pensil

Tak kusangka kerja kerasku menahan emosi ketika ia masih SD dulu berbuah luar biasa ketika anakku sudah kuliah sekarang. Dulu aku betah-betahkan dia nulis pakai pensil pendek karena habis dioroti berulang kali.

Aku memang membuat aturan “tidak ada pensil baru kecuali telah habis”, saat itu begitu berat menerima cemoohan dari kawan dan saudara “pelit banget kamu, tega membiarkan anak pakai pensil sisa.

Saat itu memang ananda tampak mengalami “siksaan”, ia kesulitan menggunakan pensil satu batang yang panjangnya seukuran telunjuk dan harus menjaganya serta menggunakannya hingga habis. 

Pernah terjadi peristiwa yang membuatku nyaris membatalkan aturan yang berlaku, saat ia mengadu bahwa pensilnya hilang dan lupa di mana kejadiannya. Kudengarkan ceritanya dan tidak memberinya pensil baru sehingga beberapa hari ia pinjam temannya. Setiap ia minta untuk diganti, selalu saya jawab “cari sampai ketemu” sampai akhirnya ia berhasil lulus munaqasyah Tilawati jilid I, lalu ayahnya menghadiahi dia sebatang pensil.

Peristiwa itu sangat membekas sehingga ia sangat open (peduli = Jawa) dengan pensilnya walaupun tinggal sepanjang jari telunjuk. Setelah itu ia baru minta ditukar dengan pensil yang baru dan keceriaan selalu menghiasi wajahnya setiap kali menerima pensil yang baru.

Anakku sekarang sudah kuliah. Pada suatu hari aku sangat terkejut ketika ia membuat laporan keuangan bulanan. Laporan keuangan bulanan dalam bentuk soft file yang dia kirimkan rinci sekali, dengan tampilan yang bagus, lengkap dengan analisis kesehatan budgeting-nya. Ia menggunakan sebuah aplikasi yang dapat digunakan untuk pencatatan dan pelaporan keuangan keluarga, tak lupa menyertakan ucapan terima kasih dengan emoticon lucu di halaman terakhirnya.

***

Itulah sekelumit pengalaman seorang kawan yang telah bersusah payah melatih anaknya untuk menghargai uang atau setiap barang apa pun yang dimilikinya serta menanamkan rasa tanggung jawab terhadap semua yang dikerjakannya. 

Penggalan kisah ringkas ini tentu sangat berharga bagi setiap orang tua yang belakangan ini merasa kesulitan menanamkan sikap Open dan tanggung jawab pada barang atau perbuatannya pada anak-anaknya.

Betapa banyak anak-anak kita yang sembrono terhadap barang miliknya, mudah sekali kehilangan barang, sering sekali menelantarkan barang pribadinya atau membiarkan begitu saja bila telah selesai keperluannya. Sedihnya lagi, perilaku tersebut menjadi karakter yang terbawa hingga usia dewasa sehingga jauh dari sikap teliti, cermat, apalagi bertanggung jawab. Tak pelak sering kita lihat orang menulis komen di berbagai platform media sosial, semaunya dan tanpa nama jelas atau menghilang begitu saja ketika akan dikonfirmasi, jawabnya klisenya “tidak tahu”. 

Perilaku ini bukan terjadi secara spontan, tetapi terbangun berulang dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama sehingga seolah-olah menjadi karakter permanen yang tidak bisa diubah. Bila semua orang tua  memperhatikan hal ini sejak dini, buah nikmatnya di kemudian hari yang akan merasakan kembali adalah orang tua dan anak-anaknya.

Sikap dan perlakuan orang tua pada anaknya di masa kecil pastilah menjadi landasan bagi anak dalam membangun perilaku selanjutnya di masa remaja dan dewasa, bahkan hingga usia tua. 

Pesan Imam Syafi’i ra adalah barangsiapa yang tidak tahan menjalani susahnya belajar, maka akan menikmati pedihnya kebodohan. Maka, sebaiknyalah kita para orang tua memiliki komitmen kuat agar tidak memilihkan atau memasukkan anak-anak dalam keadaan serba mudah dan berlimpah karena mudah dan berlimpah itulah yang akan menjadikan lemah jiwanya. Wallahu a’lam bisshawab.