Hikmah

Taubat Nashuha


2 bulan yang lalu


taubat-nashuha

Suatu ketika saya mampir di masjid di daerah Ketintang, Surabaya, untuk melaksanakan shalat Zuhur. Sudah datang sudah terlambat, shalat berjamaah telah selesai, para jamaah sudah meninggalkan masjid, tinggal seorang kakek renta yang masih khusyuk berzikir di pojok masjid.

Setelah shalat, saya duduk di serambi masjid sambil melepas penat, setelah mengarungi jalanan Kota Surabaya di siang hari yang terik. Kakek renta yang tadi terlihat khusyuk berzikir datang menghampiri saya sambil menyodorkan sebotol air dingin dan dua potong lemper yang diletakkan di atas sebuah piring plastik. “Monggo, Mas,” ucapnya mempersilakan saya untuk menikmati hidangan di siang itu.

Ternyata beliau tidak langsung meninggalkan saya, beliau mengajak saya bicara. Awalnya sekadar basa-basi, tetapi ternyata berlanjut pada kisah pribadi sang kakek yang luar biasa.

Ia mengaku bahwa dirinya adalah warga asli sekitar masjid, yang pada waktu mudanya merupakan orang sukses, memiliki toko besar dan usaha yang maju, bahkan menjadi toko besar, tempat kulak beberapa pedagang di sekitar kampung ini. Masalahnya adalah produk yang dijual adalah minuman keras, bermacam-macam merek, mulai dari produk rumahan hingga impor. Dia menceritakan, kalau acara malam Tahun Baru, bisa ludes tiga truk diesel dalam semalam.

Karena bisnisnya jelas barang haram walaupun keuntungannya besar sekali, “Sampe anak-anakku nek njaluk duwek tak kongkon njupuk dewe dok laci, aku nggak kuatir blas kentekan duwik…..(sampai anak-anakku jika minta uang, saya suruh ambil sendiri di laci, saya benar-benar tidak khawatir uang saya habis)...” Maka, dia harus menyervis preman dan oknum apparat untuk melindungi usahanya agar tetap aman dan lancar.

Dalam suatu keadaan ia berpikir, “Uangku sebegitu banyak, tapi kok nggak tampak hasilnya” kemudian ia menghitung setiap uang yang ia keluarkan. Setelah dihitung dengan cermat bersama istrinya, ternyata keuntungan yang ia nikmati bersama keluarganya sangat sedikit dibandingkan dengan uang yang digunakan untuk membayar para preman dan oknum aparat yang melindungi usahanya.

“Setelah menyadari fakta tersebut, saya stres banget waktu itu, saya berkesimpulan bahwa ternyata saya ini buruhnya mereka, padahal rumah, modal dan tenaga semua adalah milikku, sementara mereka hanya datang minta duit, lantas pergi begitu saja, berlagak seperti juragan,” katanya berapi-api, memendam rasa marah.

Dia lalu meninggalkan semuanya, dia bilang sama keluarganya “saya mau menutup usaha ini, kalian bebas mau ke mana dan mengerjakan apa pun, kalau kalian mau ikut aku, hidup melarat dan ngopeni masjid.” Sejak saat itu, ia hidup dari nol. Dia benar-benar tidak mengambil sedikit pun hasil usahanya, bahkan barang-barang yang diperoleh dari usahanya ia tinggalkan, kecuali rumah asalnya.

Sejak saat itu ia tinggal di masjid, menjaga dan memelihara masjid. Ia pun belajar mengumandangkan azan, bahkan sekarang sudah fasih membaca Al-Qur’an. Selain mendapat sekadar honor dari takmir masjid, dia membuka angkringan dekat masjid untuk istrinya.

Memungut dengan cara haram dari hasil transaksi barang yang haram adalah perbuatan dosa yang bertingkat-tingkat. Ini adalah cara hidup yang sesat jauh dari kebenaran, bukan hanya merusak diri sendiri, tetapi juga keluarga dan orang lain bahkan bangsanya. Bagaimana tidak, orang yang seharusnya bertugas memberantas kejahatan, tetapi justru bekerja sama mengambil keuntungan dari kejahatan tersebut.

Tetapi, Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Dia akan memilih siapa yang dikehendaki untuk memperoleh keselamatan, meskipun dirinya berkubang dalam dosa dan kejahatan yang sangat dalam, jika pertolongan itu datang, niscaya jalan terang penuh keselamatan akan menyelamatakannya. Maka, sungguh tidak layak berputus asa meskipun dalam kesedihan dan kesulitan yang bertumpuk-tumpuk, karena pertolongan Allah SWT. pasti akan datang asal kita mau menggapainya. Nashrun minallah wa fathun qariib.